Rabu, 11 Desember 2013

TEORI PASAR MODAL DAN INVESTASI (BAB VII HUKUM INVESTASI DAN PASAR MODAL)



VII         HUKUM INVESTASI DAN PASAR MODAL

A .(Pasal 12 s/d Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal)
1.            Bidang Usaha
Pasal 12 (1) menyatakan semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.  Penjelasan Pasal 12 ayat (1) menyebutkan, bahwa bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau  Internasional Standard for  Industrial Classification (ISIC). Pasal 12 ayat (2) menetapkan, bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: 
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan 
b.bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “alat peledak” adalah alat yang
digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.  
Ayat (3) pasal ini menyatakan, bahwa Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
Selanjutnya ayat (4) menjelaskan Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.  Pasal 12 ayat (5) menyatakan Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan 2 koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. 
Sebagai pelaksanaan ketentuan-ketentuan  tersebut di atas Pemerintah telah
mengeluarkan, Peraturan Presiden. Pertama, Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Kedua, Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Pasal 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 menyatakan :
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup adalah jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal.
(3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu. Selanjutnya, Pasal 6 Peraturan Presiden ini menguraikan prinsip-prinsip yang menjadi dasar penetuan bidang  usaha yang tertutup dan yang terbuka bersyarat. Pertama, prinsip penyederhanaan, yaitu bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam ekonomi. Kedua, prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional, yaitu bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi.
3 Ketiga, prinsip transparasi, bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multi-tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu.  Keempat, prinsip kepastian hukum yaitu, bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak dapat diubah kecuali dengan Peraturan Presiden. Kelima, prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal yaitu, bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. 
Pasal 7 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 ini menyebutkan bahwa, penyusunan kriteria bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. mekanisme pasar tidak efektif dalam mencapai tujuan;
2. kepentingan nasional tidak dapat dilindungi dengan lebih baik melalui instrumen kebijakan lain; 
3. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah efektif untuk melindungi kepentingan nasional;
4. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan adalah konsisten dengan keperluan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai pengusaha nasional dalam kaitan dengan penanaman modal asing dan/atau masalah yang dihadapi pengusaha kecil dalam kaitan dengan penanaman modal besar secara umum;
5. manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia. Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya (Pasal 8). Selanjutnya, Pasal 9 menyebutkan, bahwa kriteria K3LM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain :
1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 4
2. melindungi keaneka ragaman hayati;
3. menjaga keseimbangan ekosistem;
4. memelihara kelestarian hutan alam;
5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun;
6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan;
7. menjaga kedaulatan negara, atau
8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas.
Bidang usaha yang tertutup berlaku secara nasional diseluruh wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri (Pasal 10).
Pasal 11 menyebutkan, bahwa penetapan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan adalah antara lain, didasarkan kepada kriteria :
1. perlindungan sumber daya alam; 
2. perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi
(UMKMK);
3. pengawasan produksi dan distribusi;
4. peningkatan kapasitas teknologi;
5. partisipasi modal dalam negeri; dan
6. kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Pasal 12 menentukan bidang usaha yang terbuka dengan persayaratan terdiri
dari: 
a. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan
terhadap UMKMK.
b. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.
c. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal.
d. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu.
e. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus.    5
2. Pengembangan Penanaman Modal Bagi  Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan
Koperasi
Pasal 13 ayat (1) menyatakan Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Penjelasan pasal ini menerangkan “bidang usaha yang dicadangkan” adalah bidang usaha yang khusus diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Ayat (2) pasal ini menjelaskan, bahwa Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah tidak mudah. Misalnya, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menolak kebijakan daerah yang menerapkan kewajiban bagi pengembang dan peritel untuk menyediakan lahan bagi usaha kecil dan kaki lima.
3. Hak, Kewajiban, Dan Tanggung Jawab Penanam Modal
Pasal 14 menyebutkan setiap penanam modal berhak mendapat:
a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; 
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; 
c. hak pelayanan; dan 
d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 
Penjelasan Pasal 14 huruf a menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan
“kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh
hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Yang dimaksud dengan “kepastian perlindungan” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.  6
Selanjutnya Pasal 15 menetapkan setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; 
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; 

d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal; dan 
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Selanjutnya  penjelasan pasal 15 huruf c menerangkan, bahwa laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan  secara berkala kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal.  Pasal 16 undang-undang ini mengatur tentang tanggung jawab penanam modal, dimana setiap penanam modal bertanggung jawab :
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
b.menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal
menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara
sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal  lain yang merugikan negara; 
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; 
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan 
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 17 menetapkan, bahwa penanam modal yang mengusahakan
sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap
untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang 7
pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 17 menjelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.
4. Fasilitas Penanaman Modal 
Pasal 18 ayat (1) menyatakan, bahwa Pemerintah memberikan fasilitas kepada
penanam modal yang melakukan penanaman modal. Ayat (2) pasal ini menyebutkan
fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada
penanaman modal yang:
a. melakukan peluasan usaha; atau 
b. melakukan penanaman modal baru.
Selanjutnya ayat (3) menerangkan, bahwa penanaman modal yang mendapat
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya
memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
a. menyerap banyak tenaga kerja; 
b. termasuk skala prioritas tinggi; 
c. termasuk pembangunan infrastruktur; 
d. melakukan alih teknologi; 
e. melakukan industri pionir;  
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain
yang dianggap perlu; 
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; 
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; 
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau  
j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi
di dalam negeri.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) huruf e menyebutkan, yang dimaksud
dengan “industri pionir” adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Ayat (4) pasal ini menjelaskan bentuk fasilitas yang diberikan kepada
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa: 8
a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; 
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; 
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; 
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal
atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di
dalam negeri selama jangka waktu tertentu; 
e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan 
f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada
wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Ayat (5) pasal ini  menyatakan pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan
badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman
modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Ayat (6)
menyebutkan bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan
penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa
keringanan atau pembebasan bea masuk.  Selanjutnya ayat (7) menerangkan ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 19 undang-undang ini menyebutkan, bahwa Fasilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. 
Pasal 20 menyatakan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak
berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas. 
Selanjutnya Pasal 21 undang-undang ini menjelakan selain fasilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:


a. hak atas tanah;
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan 9
c. fasilitas perizinan impor.
5. Hak Atas Tanah 
Dalam Pasal 22 ayat (1) undang-undang ini mengatur kemudahan pelayanan
dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; 
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan 
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun
dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) huruf a menyatakan Hak Guna Usaha (HGU)
diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60
(enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun.  Penjelasan
huruf b menyebutkan Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Selanjutnya penjelasan huruf c menjelaskan
Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua
puluh lima) tahun.
Ayat (2) pasal ini menerangkan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diberikan dan diperpanjang di  muka sekaligus untuk kegiatan penanaman
modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; 10
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman
modal yang dilakukan; 
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; 
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan 
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum.
Dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf c, yang dimaksud dengan “area yang
luas” adalah luas tanah yang diperlukan untuk kegiatan penanaman modal dengan
mempertimbangkan kepadatan penduduk, bidang usaha, atau jenis usaha yang
ditentukan dengan peraturan perundang-undangan. 
Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Pementan/05.140/2/2007
yang dikeluarkan pada 28 Pebruari 2007, menetapkan satu perusahaan hanya diizinkan
mengembangkan areal kelapa sawit dalam satu kawasan maksimal 100.000 ha.
Sedangkan untuk perusahaan perkebunan  negara, koperasi usaha perkebunan,
perusahaan perkebunan yang sudah “go public”, bisa mengembangkan areal perkebunan
kelapa sawit melebihi 100.000 ha dalam satu kawasan. Begitu juga pengembangan
perkebunan Kelapa Sawit di propinsi Papua diizinkan sampai lebih dario 100.000 ha.
102

Selanjutnya ayat (3) pasal ini menyebutkan, bahwa hak atas tanah dapat
diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan
dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Ayat (4)
menetapkan pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di
muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan
tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
UUPA Tahun 1960 adalah anti modal asing. Menteri Agraria Mr. Sadjarwo
dalam pidatonya tang 14 September 1960 mengantarkan jawaban pemerintah atas 11
Pemandangan Umum Anggota DPR-GR mengenai Naskah RUU Pokok Agraria di
muka Sidang Pleno DPR-GR antara lain menyatakan

1 “... Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak
kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa-peristiwa berdarah dan berkali-kali pentraktoran-pentraktoran yang sangat menyedihkan”.  selanjutnya ia mengatakan: “ ... Kami   hanya ingin menambahkan beberapa soal yang belum kami singgung di atas ialah persoalan modal asing . Soal ini dalam pasal-pasal yang bersangkutan serta penjelasannya sudah terang, yaitu pasal-pasal 28, 35, dan dalam hubungannya dengan pasal peralihan 55, yang pada pokoknya bahwa modal asing hanya mempunyai sifat sementara, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Pembangunan Semesta Berencana. Yang sudah ada di sini mempunyai afloopend karakter (untuk menghabiskan sisa jangka waktunya, dengan maksimum 20 tahun.”Dalam sidang terakhir di parlemen mengenai perdebatan tentang UUPA tahun 1960. Menteri Agraria Mr. Sadjarwo menyatakan kembali: “….dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria ini, kita mengeliminasi investasi asing…” Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960, hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Jangka waktu ini tidak memadai lagi untuk investor. Di negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan Cina hak atas tanah untuk investor berkisar antara 75 tahun sampai dengan 90 tahun. Pemerintah Indonesia di bawah Pemerintahan Soekarno (1959-1960) cenderung untuk swasembada dan menolak bantuan luar negeri (kecuali dari negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan RRC) dan investasi asing. Saat itu, Indonesia menarik keanggotaan dari PBB, IMF dan Bank Dunia.
                                                
Indonesia Kembali Membutuhkan Investasi AsingPada masa akhir pemerintahannya, Soekarno berada dibawah tekanan pemerintahan baru dibawah pimpinan Soeharto. Presiden Soekarno menandatangani kelahiran UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal  Asing. Indonesia kembali lagi mengundang investor asing. Periode hak atas tanah bagi investor dianggap tidak lagi memadai. Pada tahun 1996 pemerintah Indonesia berusaha untuk memodifikasi hak atas tanah bagi investor dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menyatakan:  (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 10 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.  Selanjutnya Pasal 28 menyatakan :

(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri keuangan. 13 (3) Persetujuan untuk memberikan perpajangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Kemudian Pasal 48 menyatakan :(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian

Hak Pakai.
Istilah pembaharuan hak yang tidak didapati dalam UUPA tidak bertentangan dengan UUPA berdasarkan dua alasan. Pertama, UUPA sendiri tidak mengatur apakah yang akan terjadi setelah HGU dan HGB itu  berakhir setelah diperpanjang jangka waktunya kecuali menyebutkan bahwa HGU dan HGB akan hapus apabila jangka waktu berakhir. Logikanya adalah, dengan hapusnya HGU atau HGB tersebut, di atas
tanah bekas HGU dan HGB yang statusnya kini menjadi Tanah Negara dapat diberikan sesuatu hak atas tanah, termasuk kemungkinan diberikan HGU atau HGB baru, baik kepada pemohon baru, maupun pemohon bekas pemegang hak. Jika pemohonnya adalah bekas pemegang hak yang lama yang masih memenuhi persyaratan, maka istilah yang lebih tepat digunakan adalah pembaharuan hak, mengingat bahwa HGU atau HGB itu tidak dimohon untuk pertama kali, tetapi domohon menjelang berakhirnya perpanjangan waktu HGU atau HGB tersebut. Kedua, penggunaan istilah pembaharuan hak, yang tentunya juga masih membuka kemungkinan untuk diberi perpanjangan apabila syarat-syaratnya dipenuhi, 14 adalah sesuai dengan metode interpretasi (dalam hal ini interpretasi ekstensif) terhadap Pasal 29 dan Pasal 35 UUPA sebagai salah satu cara pembangunan hukum dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).2 Perlu diperhatikan bahwa pemberian HGU/HGB sekaligus dengan perpanjangan dan pembaharuannya tidak berarti mengubah ketentuan dalam UUPA. Yang diberikan adalah jaminan untuk diperpanjang dan/atau diperbaharui. Sebelum perpanjangan atau pembaharuan itu diberikan, akan dievaluasi apakah syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian haknya dipenuhi. Apabila syarat-syarat ternyata dipenuhi, maka tata cara perpanjangan atau pembaharuan hak disederhanakan, yakni cukup dengan cara mencatat perpanjangan dan pembaharuan tersebut  dalam buku-tanah dan sertifikat hak atas tanah.3Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 21-22/PUU-V/2007 menyatakan bahwa kata-kata “diperpanjang dimuka sekaligus” tidak mempunyai kekuatan hukum. Alasannya antara lain  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Pasal 22 ayat (1) tersebut tidak berlaku lagi, dan ketentuan tentang jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang dapat diperoleh investor kembali kepada ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria.  

Artikel Terkait

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply
W E L C O M E