VII HUKUM INVESTASI DAN PASAR MODAL
A .(Pasal 12 s/d Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal)
1.
Bidang Usaha
Pasal 12 (1) menyatakan semua bidang usaha atau jenis usaha
terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis
usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Penjelasan
Pasal 12 ayat (1) menyebutkan, bahwa bidang usaha atau jenis usaha yang
tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan
Presiden disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi
tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau Internasional
Standard for Industrial Classification (ISIC). Pasal 12 ayat (2)
menetapkan, bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing
adalah:
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan
perang; dan
b.bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup
berdasarkan undang-undang.
Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “alat peledak” adalah
alat yang
digunakan untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan.
Ayat (3) pasal ini menyatakan, bahwa Pemerintah berdasarkan
Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal,
baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,
kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta
kepentingan nasional lainnya.
Selanjutnya ayat (4) menjelaskan Kriteria dan persyaratan
bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar
bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing
akan diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 12 ayat (5) menyatakan
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan
kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,
perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan 2 koperasi,
pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi,
partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang
ditunjuk Pemerintah.
Sebagai pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di
atas Pemerintah telah
mengeluarkan, Peraturan Presiden. Pertama, Peraturan
Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang
Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal. Kedua, Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar
Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal. Pasal 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 menyatakan :
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup adalah jenis usaha tertentu
yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal.
(3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah
jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal
dengan persyaratan tertentu. Selanjutnya, Pasal 6 Peraturan Presiden ini
menguraikan prinsip-prinsip yang menjadi dasar penetuan bidang usaha yang
tertutup dan yang terbuka bersyarat. Pertama, prinsip penyederhanaan, yaitu
bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada
bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian
kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam
ekonomi. Kedua, prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen
internasional, yaitu bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang
termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi.
3 Ketiga, prinsip transparasi, bahwa bidang usaha yang
dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur,
dan tidak multi-tafsir serta berdasarkan kriteria tertentu. Keempat,
prinsip kepastian hukum yaitu, bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan tidak dapat diubah kecuali dengan Peraturan
Presiden. Kelima, prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar
tunggal yaitu, bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya
manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 7 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 ini menyebutkan
bahwa, penyusunan kriteria bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. mekanisme pasar tidak efektif dalam mencapai tujuan;
2. kepentingan nasional tidak dapat dilindungi dengan lebih
baik melalui instrumen kebijakan lain;
3. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan
persyaratan adalah efektif untuk melindungi kepentingan nasional;
4. mekanisme bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan
persyaratan adalah konsisten dengan keperluan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapai pengusaha nasional dalam kaitan dengan penanaman modal asing dan/atau
masalah yang dihadapi pengusaha kecil dalam kaitan dengan penanaman modal besar
secara umum;
5. manfaat pelaksanaan mekanisme bidang usaha yang tertutup
dan terbuka dengan persyaratan melebihi biaya yang ditimbulkan bagi ekonomi Indonesia.
Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam
negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan,
pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/budaya (K3LM) dan
kepentingan nasional lainnya (Pasal 8). Selanjutnya, Pasal 9 menyebutkan, bahwa
kriteria K3LM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain :
1. memelihara tatanan hidup masyarakat; 4
2. melindungi keaneka ragaman hayati;
3. menjaga keseimbangan ekosistem;
4. memelihara kelestarian hutan alam;
5. mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun;
6. menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang
dan/atau jasa yang tidak direncanakan;
7. menjaga kedaulatan negara, atau
8. menjaga dan memelihara sumber daya terbatas.
Bidang usaha yang tertutup berlaku secara nasional diseluruh
wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun
untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri (Pasal 10).
Pasal 11 menyebutkan, bahwa penetapan bidang usaha yang
terbuka dengan
persyaratan adalah antara lain, didasarkan kepada kriteria :
1. perlindungan sumber daya alam;
2. perlindungan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil,
Menengah dan Koperasi
(UMKMK);
3. pengawasan produksi dan distribusi;
4. peningkatan kapasitas teknologi;
5. partisipasi modal dalam negeri; dan
6. kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
Pasal 12 menentukan bidang usaha yang terbuka dengan
persayaratan terdiri
dari:
a. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan
dan pengembangan
terhadap UMKMK.
b. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.
c. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal.
d. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi
tertentu.
e. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan
perizinan khusus. 5
2. Pengembangan Penanaman Modal Bagi Usaha Mikro,
Kecil, Menengah, dan
Koperasi
Pasal 13 ayat (1) menyatakan Pemerintah wajib menetapkan
bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja
sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Penjelasan pasal ini
menerangkan “bidang usaha yang dicadangkan” adalah bidang usaha yang khusus
diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi agar mampu dan sejajar
dengan pelaku ekonomi lainnya. Ayat (2) pasal ini menjelaskan, bahwa Pemerintah
melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi
dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah tidak mudah. Misalnya, Asosiasi Pengelola
Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menolak kebijakan daerah yang menerapkan
kewajiban bagi pengembang dan peritel untuk menyediakan lahan bagi usaha kecil
dan kaki lima.
3. Hak, Kewajiban, Dan Tanggung Jawab Penanam Modal
Pasal 14 menyebutkan setiap penanam modal berhak mendapat:
a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang
dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Penjelasan Pasal 14 huruf a menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan
“kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal
untuk memperoleh
hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban
yang ditentukan. Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan Pemerintah
untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Yang
dimaksud dengan “kepastian perlindungan” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam
modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman
modal. 6
Selanjutnya Pasal 15 menetapkan setiap penanam modal
berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang
baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
kegiatan usaha penanaman
modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan, bahwa yang dimaksud
dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat
pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat. Selanjutnya penjelasan pasal 15 huruf c menerangkan,
bahwa laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal
dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab
di bidang penanaman modal. Pasal 16 undang-undang ini mengatur tentang
tanggung jawab penanam modal, dimana setiap penanam modal bertanggung jawab :
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang
tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian
jika penanam modal
menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan
usahanya secara
sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah
praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kesejahteraan pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 17 menetapkan, bahwa penanam modal yang
mengusahakan
sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan
dana secara bertahap
untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan
lingkungan hidup, yang 7
pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 17 menjelaskan, bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk
mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
kegiatan penanaman modal.
4. Fasilitas Penanaman Modal
Pasal 18 ayat (1) menyatakan, bahwa Pemerintah memberikan
fasilitas kepada
penanam modal yang melakukan penanaman modal. Ayat (2) pasal
ini menyebutkan
fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan kepada
penanaman modal yang:
a. melakukan peluasan usaha; atau
b. melakukan penanaman modal baru.
Selanjutnya ayat (3) menerangkan, bahwa penanaman modal yang
mendapat
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang
sekurang-kurangnya
memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah
perbatasan, atau daerah lain
yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
inovasi;
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau
koperasi; atau
j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi
di dalam negeri.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) huruf e menyebutkan, yang
dimaksud
dengan “industri pionir” adalah industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Ayat (4) pasal ini menjelaskan bentuk fasilitas yang
diberikan kepada
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) dapat berupa: 8
a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto
sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang
modal, mesin, atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau
bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan
persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas
impor barang modal
atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang
belum dapat diproduksi di
dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk
bidang usaha tertentu, pada
wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Ayat (5) pasal ini menyatakan pembebasan atau
pengurangan pajak penghasilan
badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan
kepada penanaman
modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri
yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang
tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional. Ayat (6)
menyebutkan bagi penanaman modal yang sedang berlangsung
yang melakukan
penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan
fasilitas berupa
keringanan atau pembebasan bea masuk. Selanjutnya ayat
(7) menerangkan ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 19 undang-undang ini menyebutkan, bahwa Fasilitas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan
berdasarkan kebijakan industri
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 20 menyatakan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 tidak
berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk
perseroan terbatas.
Selanjutnya Pasal 21 undang-undang ini menjelakan selain
fasilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan
pelayanan dan/atau
perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk
memperoleh:
a. hak atas tanah;
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan 9
c. fasilitas perizinan impor.
5. Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 22 ayat (1) undang-undang ini mengatur kemudahan
pelayanan
dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf a dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat
diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan
puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima)
tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80
(delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh)
tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun
dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) huruf a menyatakan Hak Guna
Usaha (HGU)
diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 60
(enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga
puluh lima) tahun. Penjelasan
huruf b menyebutkan Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan
cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh)
tahun dan dapat
diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Selanjutnya
penjelasan huruf c menjelaskan
Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka
sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat
diperbarui selama 25 (dua
puluh lima) tahun.
Ayat (2) pasal ini menerangkan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
untuk kegiatan penanaman
modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait
dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang
lebih berdaya saing; 10
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal
yang memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis
kegiatan penanaman
modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang
luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara;
dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan
masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum.
Dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf c, yang dimaksud
dengan “area yang
luas” adalah luas tanah yang diperlukan untuk kegiatan
penanaman modal dengan
mempertimbangkan kepadatan penduduk, bidang usaha, atau
jenis usaha yang
ditentukan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pertanian No.
26/Pementan/05.140/2/2007
yang dikeluarkan pada 28 Pebruari 2007, menetapkan satu
perusahaan hanya diizinkan
mengembangkan areal kelapa sawit dalam satu kawasan maksimal
100.000 ha.
Sedangkan untuk perusahaan perkebunan negara, koperasi
usaha perkebunan,
perusahaan perkebunan yang sudah “go public”, bisa
mengembangkan areal perkebunan
kelapa sawit melebihi 100.000 ha dalam satu kawasan. Begitu
juga pengembangan
perkebunan Kelapa Sawit di propinsi Papua diizinkan sampai
lebih dario 100.000 ha.
102
Selanjutnya ayat (3) pasal ini menyebutkan, bahwa hak atas
tanah dapat
diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih
digunakan dan diusahakan
dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian hak. Ayat (4)
menetapkan pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang
diberikan sekaligus di
muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat
dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan
penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan
atau memanfaatkan
tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak
atas tanahnya, serta
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.
UUPA Tahun 1960 adalah anti modal asing. Menteri Agraria Mr.
Sadjarwo
dalam pidatonya tang 14 September 1960 mengantarkan jawaban
pemerintah atas 11
Pemandangan Umum Anggota DPR-GR mengenai Naskah RUU Pokok
Agraria di
muka Sidang Pleno DPR-GR antara lain menyatakan
1 “... Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan
puncak
kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras
kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan
sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan
aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan
rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa-peristiwa berdarah
dan berkali-kali pentraktoran-pentraktoran yang sangat menyedihkan”.
selanjutnya ia mengatakan: “ ... Kami hanya ingin menambahkan
beberapa soal yang belum kami singgung di atas ialah persoalan modal asing .
Soal ini dalam pasal-pasal yang bersangkutan serta penjelasannya sudah terang,
yaitu pasal-pasal 28, 35, dan dalam hubungannya dengan pasal peralihan 55, yang
pada pokoknya bahwa modal asing hanya mempunyai sifat sementara, sesuai dengan
apa yang dibutuhkan oleh Pembangunan Semesta Berencana. Yang sudah ada di sini
mempunyai afloopend karakter (untuk menghabiskan sisa jangka waktunya, dengan
maksimum 20 tahun.”Dalam sidang terakhir di parlemen mengenai perdebatan
tentang UUPA tahun 1960. Menteri Agraria Mr. Sadjarwo menyatakan kembali:
“….dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria ini, kita mengeliminasi
investasi asing…” Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960, hak atas tanah paling lama
35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Jangka waktu ini
tidak memadai lagi untuk investor. Di negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan
Cina hak atas tanah untuk investor berkisar antara 75 tahun sampai dengan 90
tahun. Pemerintah Indonesia di bawah Pemerintahan Soekarno
(1959-1960) cenderung untuk swasembada dan menolak bantuan luar negeri (kecuali
dari negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan RRC) dan investasi asing.
Saat itu, Indonesia menarik keanggotaan dari PBB, IMF dan Bank Dunia.
Indonesia Kembali Membutuhkan Investasi AsingPada masa akhir
pemerintahannya, Soekarno berada dibawah tekanan pemerintahan baru dibawah
pimpinan Soeharto. Presiden Soekarno menandatangani kelahiran UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Indonesia kembali lagi
mengundang investor asing. Periode hak atas tanah bagi investor dianggap tidak
lagi memadai. Pada tahun 1996 pemerintah Indonesia berusaha untuk
memodifikasi hak atas tanah bagi investor dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
menyatakan: (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan
perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang
ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.
(2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud ayat
(1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya
administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk
dapat memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud Pasal 9 dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 28 menyatakan :
(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan
perpanjangan dan pembaharuan
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat
dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu
pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. (2) Dalam hal
uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan hanya dikenakan biaya
administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan
dari Menteri keuangan. 13 (3) Persetujuan untuk memberikan perpajangan atau
pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan
perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Kemudian Pasal 48 menyatakan :(1) Untuk kepentingan
penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang
pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan
permohonan Hak Pakai. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak
Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri
setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk
pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian
Hak Pakai.
Istilah pembaharuan hak yang tidak didapati dalam UUPA tidak
bertentangan dengan UUPA berdasarkan dua alasan. Pertama, UUPA sendiri tidak
mengatur apakah yang akan terjadi setelah HGU dan HGB itu berakhir
setelah diperpanjang jangka waktunya kecuali menyebutkan bahwa HGU dan HGB akan
hapus apabila jangka waktu berakhir. Logikanya adalah, dengan hapusnya HGU atau
HGB tersebut, di atas
tanah bekas HGU dan HGB yang statusnya kini menjadi Tanah
Negara dapat diberikan sesuatu hak atas tanah, termasuk kemungkinan diberikan
HGU atau HGB baru, baik kepada pemohon baru, maupun pemohon bekas pemegang hak.
Jika pemohonnya adalah bekas pemegang hak yang lama yang masih memenuhi
persyaratan, maka istilah yang lebih tepat digunakan adalah pembaharuan hak,
mengingat bahwa HGU atau HGB itu tidak dimohon untuk pertama kali, tetapi
domohon menjelang berakhirnya perpanjangan waktu HGU atau HGB tersebut. Kedua,
penggunaan istilah pembaharuan hak, yang tentunya juga masih membuka
kemungkinan untuk diberi perpanjangan apabila syarat-syaratnya dipenuhi, 14
adalah sesuai dengan metode interpretasi (dalam hal ini interpretasi ekstensif)
terhadap Pasal 29 dan Pasal 35 UUPA sebagai salah satu cara pembangunan hukum
dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).2 Perlu diperhatikan bahwa
pemberian HGU/HGB sekaligus dengan perpanjangan dan pembaharuannya tidak
berarti mengubah ketentuan dalam UUPA. Yang diberikan adalah jaminan untuk
diperpanjang dan/atau diperbaharui. Sebelum perpanjangan atau pembaharuan itu
diberikan, akan dievaluasi apakah syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian
haknya dipenuhi. Apabila syarat-syarat ternyata dipenuhi, maka tata cara
perpanjangan atau pembaharuan hak disederhanakan, yakni cukup dengan cara
mencatat perpanjangan dan pembaharuan tersebut dalam buku-tanah dan
sertifikat hak atas tanah.3Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.
21-22/PUU-V/2007 menyatakan bahwa kata-kata “diperpanjang dimuka sekaligus”
tidak mempunyai kekuatan hukum. Alasannya antara lain bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Pasal 22 ayat (1) tersebut tidak
berlaku lagi, dan ketentuan tentang jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang
dapat diperoleh investor kembali kepada ketentuan dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria.
0 komentar
Posting Komentar